Perahu Tambangan, Transportasi Sungai yang Kian Terpinggirkan

Oleh Moehadi Djajoes

Kawasan Sungai Kalimas dan Brantas memiliki sejarah transportasi panjang, salah satunya adalah perahu tambangan. Sejak Kerajaan Mataram Kuno hingga kolonial, transportasi sungai menjadi akses penting dalam menghubungkan sisi satu ke sisi lain. Setiap daerah yang dilalui aliran sungai tersebut memiliki transportasi jenis ini, salah satunya adalah Sidoarjo. Setidaknya ada tiga kecamatan yang masih ada (Taman, Balongbendo, Jabon).

Sidoarjo merupakan salah satu daerah yang memiliki perahu tambangan di perbatasan Surabaya dan Gresik. Transportasi yang terdiri dari perahu panjang dan tali tambang yang terbentang dari sisi satu ke sisi lainnya. Seorang penarik tambang menjadi orang yang penting dalam menyeberangkan penumpang dan menjaga keselamatannya selama perjalanan.

Sang penarik perahu tambangan menarik perahu dengan tangannya, dari tepi ke tepi sang penarik hanya menarik upah seribu hingga dua ribu rupiah sekali tarikan. Perahu tambang yang ada di Sidoarjo ada karena masih ada peminat, namun keberadaannya kian terpinggirkan karena perubahan zaman dan faktor pendukung lainnya.

Awalnya, pada akhir masa Mataram Kuno perahu yang digunakan untuk menyeberang masih berupa gethek atau rakit bambu. Sang pengemudi menggunakan galah bambu sebagai kemudinya. Seiring berjalannya waktu, untuk memudahkan kemudi perahu yang menyeberang dari bibir sungai bolak-balik digunakan tali tambang.

Pengunaan tali tambang menjadi awal mula penamaan tambangan yang selama ini kita kenal. Tali tambang yang digunakan juga berevolusi mengikuti zaman tetapi konsepnya tetap sama. Tali tambang diikat di setiap dermaga dan sang penarik cukup menariknya sembari menyeimbangkan keseimbangan perahu.

Lalu perahu yang digunakan sebagai wahana penyeberangan pun juga ikut berubah. Dari perahu gethek mulai berganti menjadi perahu kayu yang lebih kokoh mengangkut penumpang dan kendaraan di era kolonial. Sebenarnya, jembatan sudah ada di masa kolonial, akan tetapi jumlahnya masih sedikit dan jarak antara satu titik ke titik lain cukup jauh.

Pada masa jayanya, perahu tambangan merupakan transportasi penunjang moda transportasi masyarakat lainnya seperti bemo dan angguna yang ngetem di pinggir sungai, serta masyarakat yang ingin memangkas waktu perjalanan. Saat masa kolonial Belanda, perahu tambangan mulai mengangkut kendaraan bermotor dan sepeda angin yang tidak ingin repot putar balik melalui jembatan.

Seiring berjalannya waktu, perahu tambangan mulai berkurang peminatnya karena angkutan transportasi umum mulai tergantikan oleh kendaraan pribadi dan transportasi online. Belum lagi masalah perahu yang perlu perbaikan agar layak angkut baik bagi penumpang maupun kendaraan.

Pada tahun 2017 pernah terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh perahu tambangan di Balongbendo, lalu di awal bulan Februari 2021 juga terjadi kejadian serupa. Kondisi air sungai yang pasang atau banjir jadi beberapa alasan mulai ditinggalkannya transportasi air yang satu ini. Hal itu diperparah dengan pandemi COVID-19 yang membuat jumlah penumpang berkurang.

Nasib perahu tambangan mulai tenggelam, namun keberadaannya masih dibutuhkan. Sebenarnya perahu tambangan memiliki potensi wisata bila serius digarap dan dapat melestarikan keberadaannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah standarisasi keamanan perahu dan dermaga yang perlu peremajaan armada.

Kedepannya, perahu tambangan perlu berubah agar dapat bertahan hidup. Mungkin fungsi awalnya akan berubah dari wahana transportasi menjadi wahana pariwisata. Bisa berkonsep outbound atau heritage di beberapa titik yang potensial. Yang jadi perhatian khusus adalah bagaimana aturan keamanan dan kelayakan yang dimiliki oleh tiap armada perahu tambangan. Ini penting agar kedepannya perahu tambangan tetap eksis di tengah perubahan zaman.

*) pemerhati sejarah dan perkembangan Sidoarjo