pks

BPKK PKS Sidoarjo: Rehabilitasi Mental Santri Korban Pelecehan Seksual Harus Menjadi Perhatian

Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) DPD PKS Sidoarjo menyoroti kasus viral terkait pelecehen seksual terhadap 25 santri di daerah Sidoakare, Sidoarjo.

Sebagai salah satu bentuk empati dan kepedulian terhadap korban, Ketua BPKK PKS Sidoarjo, Maftuchah Arie Wahyuni dan jajarannya bersilaturahim ke rumah Elva Tazar pada Selasa (15/6/2021). Elva Tazar adalah tokoh yang berjasa di balik terungkapnya kasus asusila di pondok pesantren itu.

Dalam kunjungan itu, Maftuchah menyampaikan simpati dan apresiasi terhadap apa yang dilakukan oleh Elva Tazar, sekaligus menawarkan bantuan program rehabilitasi mental bagi korban.

Salah seorang pengurus BPKK PKS Sidoarjo, Bunda Titoek menyampaikan bahwa rehabilitasi mental korban adalah agenda bersama yang harus mendapatkan perhatian penuh dari pihak-pihak pengampu sumber daya.

“Mulai pendanaan, pendampingan ahli, komunitas pendukung, dan peran pengasuhan harus kita dukung. PKS berkomitmen menggalang sumber daya yang tepat untuk pemenuhan tersebut,” tandasnya.

Elva menyambut baik kunjungan dari perwakilan PKS Sidoarjo dan mengatakan bahwa dukungan itu memberikan makna penting bagi tindak lanjut penanganan korban.

Perempuan yang juga aktif sebagai relawan kemanusiaan dan mengisi berbagai kajian itu berharap PKS terus konsisten menyuarakan isu-isu sosial di tengah banyaknya kasus kekerasan yang menimpa anak-anak.

“Semoga PKS makin jaya, makin berbuat banyak untuk ummat,” kata Eva, menutup perjumpaan. (LH-DY)

pelantikan-pelopor

PKS Sidoarjo Lantik 37 Anggota Pelopor

Sebanyak 37 orang mengikuti acara Pendidikan dan Pelantikan Anggota Pelopor yang diselenggarakan DPD PKS Sidoarjo.

“Acara berlangsung selama 2 hari, tanggal 24 dan 25 April di kantor DPD PKS Sidoarjo,” kata Aziz Qodri, Sekretaris Bidang Kaderisasi DPD PKS Sidoarjo sekaligus penanggung jawab acara.

Hari Sabtu, 24 April, pendidikan dan pelantikan anggota dewasa. Sementara Minggu, 25 April, pendidikan dan pelatihan anggota madya.

Menurut Azis, acara tersebut adalah program intensifikasi anggota dalam rangka kaderisasi anggota partai secara berjenjang dan berkelanjutan, untuk menyongsong pemenangan Pemilu 2024.

“Selain itu, agar anggota semakin berperan optimal dalam agenda-agenda pelayanan terhadap masyarakat,” tambah Aziz.

Dalam acara itu, hadir pula Ketua DPW PKS Jawa Timur, Irwan Setiawan, serta beberapa narasumber dari internal dan eksternal.

Selain materi kepartaian, peserta juga disuguhkan materi-materi tentang keIndonesian.

“Ini sebagai bukti bahwa PKS siap bekerja dengan sepenuh khidmat untuk bangsa dan negara,” pungkas Aziz. [luk]

Anggota Fraksi PKS Soroti Masalah Sampah di Sidoarjo: Harus Ada Masterplan yang Jelas!

Aditya Nindyatman

SIDOARJO — Pengelolaan sampah di Sidoarjo kembali menjadi sorotan.

Anggota Komisi D DPRD dari Fraksi PKS, Aditya Nindyatman mengatakan perlunya masterplan pengelolaan sampah di tiap daerah.

Dari 351 desa/kelurahan yang tersebar dalam 18 kecamatan di Sidoarjo, hanya 5 kecamatan yang memiliki Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).

Hal itu menjadi persoalan yang serius, mengingat seperti yang dilansir kompas.id (1/7/2019), ada 2.400 ton sampah di Sidoarjo setiap hari. Dan hanya 600 ton yang mampu dikelola dengan baik.

Jumlah sampah yang besar itu sebanding dengan pertumbuhan penduduk Sidoarjo yang mencapai 2,2 juta jiwa. Tidak hanya itu, Sidoarjo juga memiliki 953 industri skala besar dan menengah. Sampah rumah tangga dan sampah industri yang semakin menumpuk tiap hari tentu akan berdampak signifikan pada kesehatan dan lingkungan.

Oleh karena itu, Aditya menambahkan, “Semestinya dimulai dengan masterplan pengelolaan sampah. Karena nanti dari masterplan ini akan dihasilkan aturan atau produk hukum terkait pengelolaan sampah.”

Menurut mantan Ketua DPD PKS Sidoarjo ini, permasalahan sampah tak kunjung selesai karena pemkab belum memiliki masterplan tentang pengelolaan sampah.

“Bila sudah ada masterplan,” tambah Aditya, “pemkab akan memiliki arah kebijakan yang jelas dalam pengelolaan sampah. Sehingga persoalan sampah sebagaimana yang dikeluhkan masyarakat bisa teratasi.” (Lukman)

Perahu Tambangan, Transportasi Sungai yang Kian Terpinggirkan

Oleh Moehadi Djajoes

Kawasan Sungai Kalimas dan Brantas memiliki sejarah transportasi panjang, salah satunya adalah perahu tambangan. Sejak Kerajaan Mataram Kuno hingga kolonial, transportasi sungai menjadi akses penting dalam menghubungkan sisi satu ke sisi lain. Setiap daerah yang dilalui aliran sungai tersebut memiliki transportasi jenis ini, salah satunya adalah Sidoarjo. Setidaknya ada tiga kecamatan yang masih ada (Taman, Balongbendo, Jabon).

Sidoarjo merupakan salah satu daerah yang memiliki perahu tambangan di perbatasan Surabaya dan Gresik. Transportasi yang terdiri dari perahu panjang dan tali tambang yang terbentang dari sisi satu ke sisi lainnya. Seorang penarik tambang menjadi orang yang penting dalam menyeberangkan penumpang dan menjaga keselamatannya selama perjalanan.

Sang penarik perahu tambangan menarik perahu dengan tangannya, dari tepi ke tepi sang penarik hanya menarik upah seribu hingga dua ribu rupiah sekali tarikan. Perahu tambang yang ada di Sidoarjo ada karena masih ada peminat, namun keberadaannya kian terpinggirkan karena perubahan zaman dan faktor pendukung lainnya.

Awalnya, pada akhir masa Mataram Kuno perahu yang digunakan untuk menyeberang masih berupa gethek atau rakit bambu. Sang pengemudi menggunakan galah bambu sebagai kemudinya. Seiring berjalannya waktu, untuk memudahkan kemudi perahu yang menyeberang dari bibir sungai bolak-balik digunakan tali tambang.

Pengunaan tali tambang menjadi awal mula penamaan tambangan yang selama ini kita kenal. Tali tambang yang digunakan juga berevolusi mengikuti zaman tetapi konsepnya tetap sama. Tali tambang diikat di setiap dermaga dan sang penarik cukup menariknya sembari menyeimbangkan keseimbangan perahu.

Lalu perahu yang digunakan sebagai wahana penyeberangan pun juga ikut berubah. Dari perahu gethek mulai berganti menjadi perahu kayu yang lebih kokoh mengangkut penumpang dan kendaraan di era kolonial. Sebenarnya, jembatan sudah ada di masa kolonial, akan tetapi jumlahnya masih sedikit dan jarak antara satu titik ke titik lain cukup jauh.

Pada masa jayanya, perahu tambangan merupakan transportasi penunjang moda transportasi masyarakat lainnya seperti bemo dan angguna yang ngetem di pinggir sungai, serta masyarakat yang ingin memangkas waktu perjalanan. Saat masa kolonial Belanda, perahu tambangan mulai mengangkut kendaraan bermotor dan sepeda angin yang tidak ingin repot putar balik melalui jembatan.

Seiring berjalannya waktu, perahu tambangan mulai berkurang peminatnya karena angkutan transportasi umum mulai tergantikan oleh kendaraan pribadi dan transportasi online. Belum lagi masalah perahu yang perlu perbaikan agar layak angkut baik bagi penumpang maupun kendaraan.

Pada tahun 2017 pernah terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh perahu tambangan di Balongbendo, lalu di awal bulan Februari 2021 juga terjadi kejadian serupa. Kondisi air sungai yang pasang atau banjir jadi beberapa alasan mulai ditinggalkannya transportasi air yang satu ini. Hal itu diperparah dengan pandemi COVID-19 yang membuat jumlah penumpang berkurang.

Nasib perahu tambangan mulai tenggelam, namun keberadaannya masih dibutuhkan. Sebenarnya perahu tambangan memiliki potensi wisata bila serius digarap dan dapat melestarikan keberadaannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah standarisasi keamanan perahu dan dermaga yang perlu peremajaan armada.

Kedepannya, perahu tambangan perlu berubah agar dapat bertahan hidup. Mungkin fungsi awalnya akan berubah dari wahana transportasi menjadi wahana pariwisata. Bisa berkonsep outbound atau heritage di beberapa titik yang potensial. Yang jadi perhatian khusus adalah bagaimana aturan keamanan dan kelayakan yang dimiliki oleh tiap armada perahu tambangan. Ini penting agar kedepannya perahu tambangan tetap eksis di tengah perubahan zaman.

*) pemerhati sejarah dan perkembangan Sidoarjo