Berita Terbaru
Catatan Relawan PKS: Saat Al Khoziny Ambruk
Galeri : foto diambil dari saluran wa
Oleh: Relawan PKS
Senin, 29 September 2025. Sekitar pukul empat sore. Seperti biasa, saya membuka grup WhatsApp alumni. Namun sore itu berbeda. Sebuah pesan pendek muncul di layar ponsel saya:
“Ponpes Al Khoziny ambruk di Buduran.”
Deg. Jantung saya langsung berdegup kencang. Antara percaya dan tidak percaya. Dari mana sumbernya? Benarkah? Dalam hati saya bertanya-tanya, mencoba mencerna kabar itu yang datang begitu tiba-tiba.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung mencari informasi di Google. Namun saat itu belum ada satu pun berita resmi yang muncul. Lalu saya membuka Facebook dan akun E100, berharap ada kejelasan. Saat itulah saya melihat unggahan pertama: informasi itu benar, Pondok Al Khoziny benar-benar ambruk.
Malam itu saya segera menghubungi seorang teman yang tinggal tak jauh dari lokasi kejadian. Tak lama, beberapa video dari lapangan masuk ke ponsel saya. Gambar-gambar itu membuat bulu kuduk saya berdiri. Masjid Al Khoziny ambruk saat waktu salat Asar, ketika banyak santri sedang berjamaah. Dalam video terdengar suara panik dan teriakan minta tolong. Ambulans lalu lalang, masyarakat berhamburan.
Informasi awal menyebutkan ada satu santri meninggal dunia, sementara jumlah korban luka-luka belum pasti. Jalan raya Buduran macet total. Situasi benar-benar kacau. Orang-orang sibuk menyelamatkan siapa saja yang terjebak di reruntuhan bangunan.
Malam itu saya hanya bisa menyimak semua kabar dari kejauhan. Saya tak bisa ke lokasi karena ada keperluan pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan. Namun dalam hati saya sudah mantap: besok pagi saya akan turun langsung ke lapangan.
Hari Kedua – Selasa: Posko PKS Berdiri
Selasa pagi, 30 September 2025. Kabar cepat menyebar bahwa PKS membuka posko bantuan di sekitar lokasi kejadian. Tanpa menunggu lama, saya langsung menuju Buduran. Jalanan masih macet parah. Ambulans hilir mudik, masyarakat berdatangan, dan debu reruntuhan masih terasa di udara.
Setibanya di lokasi, saya langsung menuju posko PKS. Posko ini bukan berbentuk tenda, melainkan sebuah rumah yang dijadikan pusat aktivitas relawan. Di sinilah semua kegiatan bantuan dikoordinasikan.
Di dalam posko tersedia berbagai fasilitas: ruang istirahat bagi tim SAR, relawan, dan aparat kepolisian, kamar mandi, tempat tidur sederhana, kipas angin, serta minuman hangat dan dingin. Tersedia juga makanan ringan, nasi bungkus, dan logistik lain yang selalu siap. Posko ini menjadi tempat peristirahatan sementara bagi siapa saja yang sedang berjibaku di lapangan.
Suasananya ramai namun tertata. Relawan hilir mudik, beberapa petugas beristirahat, sebagian lainnya mengatur distribusi logistik. Menjelang malam, posko semakin ramai oleh kedatangan relawan tambahan. Bantuan juga terus berdatangan dari berbagai pihak. Dari Ibu Reni—anggota DPR RI PKS, Pak Afdal M. Iksan—anggota DPRD Sidoarjo, serta kader dan simpatisan PKS.
Alhamdulillah, logistik tercukupi dengan baik. Posko PKS benar-benar menjadi tempat singgah bagi tim SAR, aparat, dan relawan yang sudah dua hari bekerja keras. Meski di luar suasana masih penuh duka, di dalam posko ini ada sedikit ketenangan yang memberi tenaga untuk terus melanjutkan tugas kemanusiaan.
Hari Ketiga – Rabu: Menyaksikan Langsung
Rabu pagi, 1 Oktober 2025. Saya kembali ke posko sejak pagi. Kali ini, saya mendapat kesempatan untuk mendekat ke area reruntuhan. Akses sudah dijaga ketat, tapi saya mendapat izin dari rekan yang bertugas di lapangan.
Pemandangan di dalam benar-benar membuat dada saya sesak. Reruntuhan beton dan besi masih berserakan. Di salah satu titik, Haikal—salah satu santri—masih terjebak di bawah puing-puing bangunan. Tim SAR, Basarnas, BPBD, dan para relawan bergantian turun ke lubang sempit untuk menyelamatkannya. Semua mata tertuju ke satu titik itu. Semua berharap Haikal bisa keluar hidup-hidup.
Saat berdiri di sana, saya mencium bau tak sedap. Saya bertanya pelan kepada rekan di samping saya. Ia menjelaskan, “Di sebelah Haikal ada temannya yang sudah meninggal. Ditutupi terpal.”
Kipas besar diarahkan ke reruntuhan untuk memberi udara segar, agar Haikal tetap bisa bernapas. Situasi di sana sangat tegang. Saya melihat wajah-wajah lelah para relawan, tapi tak ada yang menyerah. Mereka terus bergantian masuk ke lubang demi lubang, bertarung dengan waktu.
Saya juga sempat menyusuri area sekitar pondok. Banyak keluarga korban masih bertahan di sana. Ada yang duduk lemas, ada yang berdoa, ada pula yang menangis histeris. Tangisan itu bukan hanya tanda kesedihan, tapi juga ketidakpastian dan kehilangan yang dalam.
Sore harinya, saya ikut menemani Ketua DPD PKS berkunjung ke Bu Nyai Hinda dan Syekh Ahmad, pengasuh pondok. PKS menyerahkan bantuan untuk keluarga korban melalui Bu Nyai. Saat itu hadir pula Ketua DPD dan Sekretaris DPD PKS Sidoarjo. Suasana pertemuan singkat itu begitu haru.
Posko PKS – Simpul Harapan di Tengah Duka
Malam hari, suasana posko PKS kembali ramai. Posko menjadi pusat aktivitas: tempat relawan beristirahat, tempat koordinasi, dan tempat keluarga korban mendapatkan dukungan. Donasi terus berdatangan, baik dari kader PKS maupun masyarakat luas.
Relawan bergotong royong: ada yang menyiapkan konsumsi, ada yang mengatur logistik, ada pula yang mendampingi keluarga korban yang masih menunggu kabar orang terkasih. Di tengah suasana duka, semangat kepedulian dan kebersamaan terasa begitu kuat.
Malam itu saya duduk di teras posko, memandangi hiruk pikuk orang-orang baik yang bergerak tanpa pamrih. Dalam hati saya berkata, “Inilah wajah kemanusiaan yang sesungguhnya.” Tak ada sekat. Tak ada pangkat. Hanya manusia yang ingin saling tolong-menolong.
Hari-hari itu akan selalu saya ingat. Saat Al Khoziny ambruk, bukan hanya bangunan yang runtuh—tetapi juga ribuan hati yang terluka. Namun di saat yang sama, tumbuh pula semangat besar untuk saling menopang dan menguatkan.
Cerita ini belum selesai. Masih banyak kisah dari lapangan, tentang perjuangan para relawan, kisah keluarga korban, dan pelajaran berharga dari setiap detik kejadian.
Bersambung…