Berita Terbaru

PKS: Utang Proyek Kereta Cepat Harus Diselesaikan Tanpa Bebani APBN

Gambar
keseluruhan proyek kereta cepat belum menunjukkan multiplier effect ekonomi yang sebanding dengan besarnya biaya dan beban utang yang ditanggung.  “Dampak ekonomi jangka panjang masih belum terlihat signifikan. Butuh waktu lama agar proyek ini benar-benar memberikan manfaat nyata, terutama jika tidak diikuti dengan pengembangan wilayah dan optimalisasi pendapatan,” imbuhnya. Ke depan, Handi mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada proyek-proyek ambisius dan berbiaya besar yang berisiko tinggi bagi keuangan negara. Ia menekankan pentingnya membuat skala prioritas pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan rakyat banyak dan penguatan fundamental ekonomi nasional. “Pemerintah sebaiknya fokus memperkuat pembangunan sumber daya manusia, meningkatkan kualitas pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi, serta memperbaiki layanan kesehatan yang masih rendah,” ungkapnya. Selain itu, Handi mendorong agar pemerintah melakukan renegosiasi ulang terhadap utang dan bunga...

Menggagas (Kembali) UU Sistem Perekonomian Nasional

 

Oleh: Mohamad Sohibul Iman

Ketua Majelis Syura PKS

Mohammad Hatta kemudian dikenal dengan sebutan Bung Hatta, sebelum menjadi seorang Proklamator adalah tokoh perjuangan kemerdekaan yang pernah ditahan oleh pemerintah kolonial di Den Haag, Belanda, pada tahun 1927. Bung Hatta ditangkap karena aktivitasnya yang dianggap memperjuangkan kemerdekaan dan dapat membahayakan keberadaan Belanda di Indonesia. Selama berada di penjara, Bung Hatta menulis sebuah pidato pembelaan yang diberi judul "Indonesia Merdeka" atau "Indonesia Vrij" atau "Indonesia Free”. Jiwa nasionalisme seorang Pemimpin akan selalu hadir dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan senang maupun susah.

 Jiwa nasionalisme itu pulalah yang membuat Bung Hatta menolak gagasan pasar-bebasnya Adam Smith, padahal Bung Hatta sendiri berlatar belakang pendidikan ekonomi dari Belanda. Bahkan setelah itu, tatkala memimpin Perhimpunan Indonesia tahun 1930 dengan tegas menolak pula paham komunisme. Kemudian ketika beliau dibuang di Boven Digoel pada tahun 1935, Bung Hatta mulai menggagas Pasal 33 UUD 1945. Bung Hatta meyakini paham ekonomi yang dirumuskan dalam konstitusi bangsa tersebut, bukanlah “jalan tengah” melainkan adalah “jalan lain”, Bung Hatta sendiri menyebutnya sebagai “jalan lurus”, yaitu “jalan Pancasila” (Meutia Hatta, 2011).

 Pasca Kemerdekaan, jiwa nasionalisme Bung Hatta terus mengalir deras. Sebagai Arsitek lahirnya konstitusi ekonomi, Pasal 33 UUD 1945, kemudian dianggap sebagai ideologi ekonomi Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai luhur dan keyakinan bangsa Indonesia. Hal inilah yang membuat Indonesia bisa mandiri terbebas dari intervensi ideologi manapun. Bung Hatta meyakini bahwa, demokrasi ekonomi menjadi marwah dari transformasi ekonomi dan sosial dari sistem ekonomi kolonial menuju suatu sistem ekonomi baru sebagaimana yang digagas dalam UUD 1945 (Pulungan, 2019).

 Tepat sembilan puluh tahun berikutnya, setelah gagasan Pasal 33 UUD 1945 pertama kali dirumuskan oleh Bung Hatta tahun 1935, tepatnya dalam Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto dalam rangka HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 di hadapan sidang tahunan MPR, 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo mengungkapkan pentingnya bangsa Indonesia kembali ke rancang bangun atau blueprint yang sudah disusun oleh para founding fathers, bagaimana seharusnya negara dijalankan dan diperankan, guidlienya tertuang dalam UUD 1945.

 Lebih jauh Presiden Prabowo mengakui keinginannya untuk kembali menggunakan Pasal 33 UUD 1945, didasari atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam perekonomian Indonesia selama ini. Prabowo menyebutnya dengan istilah “Serakahnomics”. Praktik ekonomi yang dilandasi keserakahan para elit, yang disebutnya melewati batas kewajaran dan moralitas. Kekayaan yang dimiliki Indonesia sangat luar biasa, sayangnya, masih banyak orang jahat alias maling yang mengambil sebagian kekayaan negara tersebut.

 Gagasan untuk menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan utama dalam Sistem perekonomian nasional perlu mendapat perhatian serius. Sudah saatnya, kita mengkaji lebih jauh bagaimana sesungguhnya implementasi Pasal 33 UUD 1945 dalam praktik sistem perekonomian nasional. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki UU mengenai sistem perekonomian nasional yang mengatur perekonomian secara komprehensif. Memiliki kontrol terhadap aset dan kekayaan negara, terdapat industri nasional yang tangguh dan mandiri seta strategi penguasaan sains dan teknologi yang jelas dan berkelanjutan.

Menggagas Kembali UU Sistem Perekonomian Nasional

Sesungguhnya gagasan tentang membangun Sistem perekonomian nasional pernah mengemuka pada saat Kongres ISEI XVII di Bukittinggi, Juli 2009. Para akademisi dan ekonom yang hadir pada waktu itu menganggkat tema mengenai “Rekonstruksi Sistem Ekonomi untuk Mendukung Daya Saing Indonesia Pascakrisis Ekonomi Global”. Salah satu isu yang mengemuka adalah merumuskan kembali ayat-ayat konstitusi secara implementatif dan kontekstual. 

Sistem ekonomi yang ingin dibentuk oleh sebuah negara, tentunya tidak bisa dilepaskan dari Konstitusi yang dianut oleh negara tersebut. Perekonomian Amerika Serikat yang dikenal paling liberal, dibentuk atas Konstitusi Amerika Serikat yang mengedepankan kebebasan individu para pemilik modal (liberal economics capitalism). Begitupula dengan China yang bertransisi dari konstitusi komando dan terencana (centralized command and planning) menjadi sistem ekonomi pasar sosialis campuran (mixed socialist market economy) yang mengadopsi elemen pasar bebas, dimulai dengan reformasi pada akhir 1970-an.

Sistem demokrasi ekonomi yang terdapat dalam konstitusi Indonesia, sebagaimana yang dibayangkan Bung Hatta, berbeda dengan sistem kapitalis yang mendasarkan pada nilai-nilai individualisme dan persaingan bebas serta sistem komando yang terpusat dan terencana. Bung Hatta menegaskan bahwa di dalam membangun perekonomian nasional berlaku doktrin demokrasi ekonomi, dimana penekanannya ada pada paham kebersamaan dan asas kekeluargaan. Gagasan Bung Hatta tentang doktrin ekonomi tersebut, belum sepenuhnya berhasil diterjemahkan secara implementatif pada UU sektoral di bidang ekonomi.

Perumusan sistem ekonomi Indonesia sampai saat ini, masih ditafsirkan sebagai Sistem ekonomi Pancasila yang mendasarkan pada paham kekeluargaan dan semangat kebersamaan sebagaimana yang terdapat dalam ayat konstitusi ekonomi. Tentunya menjadi pekerjaan yang tidak mudah, menerjemahkan makna yang terdapat dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, sementara pada saat yang sama, UU sektoral di bidang ekonomi, seperti: UU Migas, UU Minerba, UU Perdagangan, UU Investasi dll, yang sudah berjalan, sejauh ini tidak punya acuan yang sama, karena ketiadaan UU Sistem perekonomian nasional.

Sejatinya Indonesia memerlukan rancang bangun sistem perekonomian nasional yang mampu menerjemahkan pasal-pasal konstitusi ekonomi yang terdapat dalam pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UUD NRI 1945 secara utuh dan komprehensif. Empat komponen utama sebuah sistem ekonomi harus tercermin dalam sistem perekonomian nasional nantinya adalah tatanan tentang penyelenggaraan kegiatan ekonomi; tatanan tentang kepemilikan; tatanan mengenai pelaku atau agen ekonomi; serta tatanan tentang keadilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, sudah saatnya perlu menterjemahkan masing-masing ayat menjadi norma-norma hukum yang implementatif dan mengikat.

Gagasan penyusunan UU Sistem perekonomian nasioanal sesungguhnya memiliki pijakan hukum yang kuat, Pasal 33 ayat (5) menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Artinya, ayat ini memberikan kewenangan kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih detail pelaksanaan dari seluruh ketentuan yang ada dalam Pasal 33 UUD 1945. Maknanya, terbuka peluang untuk menyusun sistem perekonomian nasional. UU ini nantinya tidak hanya menafsirkan ayat konstitusi tetapi juga mengejawantahkan Sistem ekonomi Indonesia secara utuh dan komprehensif.

Sudah seharusnyalah jika momentum untuk kembali ke landasan Konstitusi ekonomi dimulai pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo. Presiden harus memastikan bahwa penyusunan setiap makna yang terkandung dalam setiap ayat pasal konstitusi ekonomi tersebut bisa terlaksana dengan baik, dalam setiap regulasi dan kebijakan sektoral bidang ekonomi yang akan dijalankan. Hal inilah yang diharapkan mampu mengembalikan perekonomian nasional pada arah dan jalan yang benar sesuai dengan apa yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

Berita Populer

Komdigi Jadi Ujung Tombak Digital, Sekretaris PKS Sidoarjo Dorong Konten Positif dan Edukatif

PKS Sidoarjo Dorong Program Gizi Nasional: Lukman Hadi Pantau Kesiapan Makan Bergizi Gratis di Krembung

Catatan Relawan PKS: Saat Al Khoziny Ambruk